UAS Fotografi - Indomie Goreng Rasa Sate |
Sebungkus kemasan mie instan rasa soto di buka. Lalu mie
tersebut dimasak, dibagi menjadi dua bagian. Kami memakan mie instan dengan
porsi setengah. Satu untukku, dan satu lagi untuk adik. Dibagi rata. Rasanya memakan
setengah porsi pun sudah nikmat. Bukan karena kami sedang irit, ataupun memilih
untuk hidup sehat. Kami, atau lebih tepatnya mamah saya membatasi porsi mie
instan karena memang saat itu, pada saat umur saya masih berjumlah tidak lebih
dari jari di tangan.
Saya ingat sekali rasanya menikmati mie instan cukup hanya
setengah porsi seperti itu. Tanpa beban dan seperti nya memang banyak pilihan
(dari dulu memang mie instan selalu banya pilihan, saya suka melihat tumpukan
mie instan yang berada di warung, dan itu tidak penting)
Semakin mengikuti masa depan, semakin banyak pula varian mie
instan yang ada. Saya ingat beberapa jenis atau merk yang masih tersimpan jelas
di otak ini. Ada Mie selera rakyat, yang iklannya banyak orang berjoget-joget
karena bahagia mendapatkan varian mi yang (rasanya) merakyat. Kalau tidak salah
rasanya manis-manis gurih. Atau, Top Ramen dari Nissin yang ukurannya tidak
jauh dengan Mie Selera rakyat, namun membawa embel-embel R-A-M-E-N. Ya, saya
tahu ramen ketika sekolah dasar. Tapi kok rasanya begini? Keluhku. Apa mungkin
semua rasa mi seperti begini?
Tentunya tidak seperti itu seharusnya. Hanya simpanan
recehku saat itu hanya bisa menikmati mie dengan kualitas itu-itu saja, tidak
meningkat.
Untungnya saya bisa hidup dan besar agak-agak kota. Jadi,
pengalaman tentang mie instan tidak jelek-jelek amat.
Ternyata mie banyak jenis nya. Porsi nya pun banyak-banyak.
Kalau sudah bosan dengan mie instan, saya mencari tukang mie yang lewat depan
rumah, atapun di pinggir jalan raya yang biasanya ramai dengan suara perkusi
pada penggorengan.
Semakin dewasa, dewasa, dewasa, akhirnya kulia. Ngungsi ke
Bandung. Kebetulan waktu itu saya sedang kagum sekali dengan varian mie ramen
ala jepang yang banyak dijual di Bandung. Banyak anak muda yang menikmati, ya
tentunya untuk mencapai atau menyamaratakan lidah dengan pergaulan Kota itu,
saya ikut-ikutan menikmati mie ramen dengan tingkatan rasa pedas. Saya hanya sanggup ya paling pedas itu level
4. Tapi kalau rata-rata untuk menikmati sih, level 2. Saya nggak bisa banyak
menantang cabai pedas yang semakin gila rasanya.
Sejak menikmati banyak jenis ramen, bahkan banyak makanan
yang serba pedas di Bandung, akhirnya mimpi buruk terjadi.
Saya terkena maag.
Jreng.
Sangat-sangat menyesal, deh.
Mie ramen pedas, Gehu pedas, keripik singkong pedas. Apalagi
yang kurang pedas?
Mungkin karena lepas control jauh dari orang tua pula,
keseimbangan gizi tidak teratur membuat semua ini sudah terlanjur.
Maag itu membayang-bayangi hidup saya sampai saat ini.
Kalau tidak salah, begini ceritanya.
Dengan riang saya selalu menikmati makanan pedas, banyak
tugas dan hari itu memilih untuk pulang ke Serang, dengan mamah. Mungkin karena
terlalu sibuk dan focus tugas hari itu, dilanjut pulang tanpa kesadaran untuk
lapar. Malam hari diperjalanan pulang, di rest area saya makan, dengan banyak
lumuran sambal. Keesokannya saya sakit perut yang tiada duanya.
Selesai.
Seperti itulah rasanya petualangan pedas yang saya alami.
Mulai saat itu saya selalu berusaha mengurangi porsi makanan
pedas. Namun apa mau di kata, selalu saja menyempatkan diri untu memakan
makanan pedas. Cemil sedikit, pedas. Salah dikit, sakit lagi. Begitu terus
siklus nya. Sampai awal tahun 2015 ini, Saya tidak bisa memakan pedas (hampir
tidak bisa sama sekali).
Benar-benar mengurangi.
Sedih rasanya.
Loh, jadi ngomongin maag.
Balik lagi ke Mie Instan.
Mungkin rasa Cinta terhdapap makanan sejuta umat belum
selesai sampai di 2015. Mie instan tidak bisa dihindari, dong. Dari yang murah
sampai mahal, dari yang mudah sampai yang susah. Mie instan ada di kasta mana
saja. Siapa yang nggak suka mie instan? Kalau ada, kamu hebat.
Alam bawah sadar saya pun sampai melakukan sinkronasi
terhadap mie instan.
Contohnya, ketika mengerjakan tugas. Bukan untuk menemani
nugas, tapi menjadi objek tugas.
HAHAHA
I choose you, mie instan. Kamu nggak bisa dibalik layar
terus. Biarkan saya mengapresiasikan kecintaanku padamu. Dengan membuatkanmu
sebuah iklan.
Awalnya sih nggak sengaja milih mie instan, karena di acc
sama dosen saya kebingungan memilih produk untuk iklan makananan dalam rupa
fotografi.
Saya memilih makanan, semuanya makanan. Ketika saya acc dan
malah ditanya balik mau pilih produk yang mana, saya menunjuk tanpa mikir panjang.
Saya memilih mie instan. Indomie Goreng rasa Sate Ayam.
Pokoknya gitu deh, setelah acc dan di buat sketsa, dikerjain
dah tuh konsep yang sebelumnnya di acc. Berkat bantuan temen-temen, dan kost-an
Daud yang diacak-acak sama rempah buat bahan fotografi, akhirnya selesai.
Nggak, nggak tahu deh nilainya berapa. Pokoknya saya puas
sama hasilnya.
Di foto beberapa kali sampai mabok dan keram karena posisi
foto yang salah, dan temen-temen yang megangin flash, reflector sama cermin
buat nambah cahaya.
Lukas, Yopi, Daud, Terima kasih sudah membantu krim sambal
kacang sama rempah-rempah mentah itu jadi objek foto yang enak diliat mata.
5 komentar
Yang jelas mah kalo laper dan males masak, mie instan solusinya. :))
BalasHapusyoi, makanan kebangsaan X)
Hapusetapi, kalo males masak di remes langsung dong mie nya :|
Ga ada yg ngalahin rasa mie instan Indonesia. Tapi ya harus dibatasin makannya, jangan sering-sering demi kesehatan...
BalasHapusiya, enek juga kan kalo terlalu sering nge-mie. yang jarang-jarang juga yang bikin tetep enak hahaha
Hapusbanyak mie instan yang sudah banyak rasa yang bisa kita pilih sendiri, mulai dari rasa sate, cabe hijau, empal gentong dan banyak lagi..
BalasHapusBerikan komentarmu dan kita bisa berdiskusi di sini!